* Apabila pembaca mendapatkan kesalahan mohon berkenan mengoreksi (terima kasih).

Senin, 10 Maret 2008

1.4 I’rab dan Bina (bag. 2)

1.4 I’rab dan Bina (bag. 2)

Pembagian I’rab
I’rab dibagi tiga, yaitu: Lafzhi, Takdiri, dan Mahalli

1. I’rab Lafzhi
I’rab lafzhi adalah pengaruh yang jelas pada akhir kalimat sesuai dengan tuntutan dari amil. I’rab lafzhi terdapat pada kalimat mu’rab yang tidak mu’tal akhir, seperti:

يُكرم الأستاذُ المجتهد
Dimuliakan ustadz yang sungguh-sungguh.
2. I’rab Takdiri
i’rab takdiri adalah pengaruh yang tidak nampak terhadap akhir suatu kalimat sesuai dengan tuntutan amil, maka keadaan harkatnya ditakdirkan karena tidak bisa dilihat.
I’rab takdiri terdapat pada kalimat-kalimat ku’tal akhir dengan alif atau wau atau ya, dan pada kalimat yang dimudhafkan kepada ya mutakallim, dan pada kalimat yang di’irab dengan hikayat bila tidak berupa jumlah, dan juga pada kalimat-kalimat yang dinamai mabni atau jumlah.

2. a. I’rab mu’tal akhir
Alif ditakdirkan atasnya dalam harkat yang tiga karena sukar (ta’adzur).
Contoh:

يَهوَى الفتى الهدَى للعُلى
Pemuda itu ingin mendapat petunjuk untuk memperoleh ketinggian.
Adapun pada keadaan jazm, alif dibuang karena jazm, contoh:

لم نخشَ إلا اللهَ
Kami tidak takut kecuali kepada (azab) Allah.

Makna ta’adzur adalah alamat i’rab tidak dapat dizahirkan (ditampakkan) selamanya.

Wau dan ya ditakdirkan atas keduanya dalam i’rab dhamah dan kasrah karena berat (Tsaqal). Contoh:

يَقضي القاضي على الجاني
Hakim (qhadhi) menuntut orang yang berbuat dosa.

يدعو الداعي إلى النادي
Dai mengajak kepada suatu kumpulan.
Adapun pada keadaan nashab, maka jika i’rab fatah dizahirkan pada keduanya karena ringan, contoh:

لن أَعصِيَ القاضيَ
Aku tidak akan mendurhakai hakim (qhadhi).

لَنْ أَدعوَ إلى غير الحق".
Aku tidak akan mengajak kepada yang selain kebenaran.
Makna tsaqal adalah menzahirkan dhamah dan kasrah atas wau dan ya itu masih mungkin, seperti:

يقضيُ القاضيُ على الجانيِ. يَدعوُ الداعيُ إلى الناديِ
Tetapi harkat pada kedua contoh di atas berat untuk mengatakannya, karena itu keduanya (dhamah dan kasrah) dibuang dan ditakdirkan, maksudnya keadaan keduanya dipandang dalam ingatan saja.

2. b. I’rab kalimah yang di mudhafkan kepada ya mutakallim.
Isim yang dimudhafkan kepada ya mutakallim di’irab – apabila bukan merupakan isim maqshur, isim manqush, mutsanna, jamak mudzakkar salim – pada dua keadaan, yaitu rafa’ dan nashab dengan dhamah dan fatah muqaddarah (yang ditakdirkan) atas huruf akhirnya, kedua harkat yang sesuai itu dicegah untuk ditampakkan. Contoh:

ربيَ اللهُ
Rabb-ku adalah Allah.

أطعتُ ربي
Aku taat kepada Allah.
Adapun pada keadaan jar, di’irab dengan kasrah secara jelas pada huruf akhir, menurut pendapat yang paling sahih, contoh:

لزِمتُ طاعةَ ربي
Aku melazimkan taat kepada Rabb-ku.

(Ini merupakan pandangan jama’ah muhakikin, diantanya adalah Ibnu Malik. Dan menurut jumhir ulama, pada keadaan jar, juga mu’rab dengan kasrah yang ditakdirkan pada akhir kalimat, karena mereka memandang bahwa kasrah yang ada bukan alamat jar, melainkan kasrah yang dituntut ya mutakallim ketika bersambung dengan isim, dan kasrah jar ditakdirkan. Dan tidak ada tuntutan pada pembebanan ini).

Maka jika keadaan mudhaf kepada ya itu isim maqshur, maka alifnya tetap pada tempatnya dan dii’rab dengan harkat muqaddarah atas alif sebagaimana keadaannya dii’rab sebelum bersambung dengan ya mutakallim, contoh:

هذه عصايَ وأمسكتُ عصايَ و توكأت على عصايَ
Ini tongkatku, aku memegang tongkatku, dan aku bertopang pada tongkatku.
Apabila keadaannya manqush diidzghamkan ya-nya kepada ya mutakallim. Dan dii’rab ketika nashab dengan fatah yang ditakdirkan atas ya, dilarang menzahirkan keduanya karena sukun idzgham, contoh:

حمِدتُ الله مُعطِيّ الرزقَ
Aku memuji kepada Allah yang Maha Pemberi rizki.

Dan dii’rab pada keadaan rafa’ dan jar dengan dhamah atau kasrah yang keduanya ditakdirkan pada ya. Terhalang menzahirkan keduanya karena yang pertama berat, dan yang kedua sukun idzgham. Contoh:

اللهُ معطِيّ الرزقَ
Allah adalah Pemberi rizki.

شكرت لِمُعطيَ الرزقَ
Aku bersyukur kepada yang memberi rizki.
(Sebagian ahli muhakkikin melihat bahwa tercegahnya dari menampakan dhamah dan kasrah atas isim manqush yang dimudhafkan kepada ya mutakallim metika menjelaskan kalimat: , lafazh dirafa’kan dengan dhamah muqaddarah atas huruf ya sebelum datang ya mutakallim, terlarang menampakannya karena menyibukkan mahal dengan sukun yang wajib karena izdgham, bukan karena berat – sebagaimana pada keadaan pada selain keadaan ini – untuk memperlihatkan wajibnya dari sukun pada keadaan ini lebih kuat dari mengucapkannya yang berat, yaitu idzgham).

Apabila keadaannya mutsanna, ditetapka alifnya pada keadaannya, contoh:

هذان كتابايَ
Ini dua kitab kepunyaanku.

Dan adapun ya-nya diidzghamkan kepada ya mutakallim, seperti:

علمتُ وَلديَّ
Aku mengajar kedua anakku.
Apabila keadaannya jamak mudzakkar salim, wau-nya ditukar dengan ya lalu diidzghamkan kepada ya mutakallim, contoh:

معلميَّ يُحبّونَ أدبي
Guru-guruku mencintai akhlakku.
Adapun ya-nya diizdghamkan pula kepada ya mutakallim, contoh:

أكرمتُ مُعلميَّ
Aku memuliakan guru-guruku.

Mutsanna dan jamak mudzakkar salim di’irab – yang dimudhafkan kepada ya mutakallim – dengan huruf, sebagaimana keduanya dii’rab sebekum diidhafatkan. Sebagaimana engkau lihat.

2. c. I’rab mahki
Hikayat adalah mendatangkan lafazh sesuai dengan apa yang didengarnya.
Hikayat ada hikayat kalimah dan ada hikayat jumlah. Dan keduanya dihikayat atas lafazhnya kecuali keadaannya merupakan kesalahan perkataan. Maka hikayat ditentukan dengan maknanya serta perhatian atas kesalahan perkataan.

Hikayat kalimah seperti perkataan:

كتبتُ: يعلمُ"، أي: كتبتُ هذه الكلمةَ
Maka lafazh يعلمُ - pada asalnya – yaitu fi’il mudhari’ yang dirafa’kan karena kosong dari amil yang menashabkan atau amil yang menjazmkan, dan di sini i’rabnya i’rab mahki. Maka keadaannya menjadi maf’ul bih bagi kalimat كتبتُ , dan i’rabnya ditakdirkan, terlarang menzahirkannya karena harkat hikayat.
Apabila engkau berkata:

كتبَ: فعلٌ ماضٍ
Maka lafazh كتبَ di sini, dihikayat. Maksudnya menjadi mubtada yang dirafa’kan dengan dhamah yang ditakdirkan, tercegah menzahirkannya karena harkat hikayat.
Apabila dikatakan kepadamu:

أَعربْ "سعيداً" من قولك: "رأَيتُ سعيداً"
Engkau menjawab: سعيداً: مفعولٌ به , kalimat tersebut dihikayat dan didatangkan dengan i’rab yang dinashabkan, serta lafazh سعيداً pada perkataanmu berkedudukan menjadi mubtada, dan perkataan مفعولٌ به menjadi khabar. Kecuali lafazh itu dirafa’kan dengan dhamah muqaddarah atas huruf akhirnya, tercegah dizahirkan karena harkat hikayat. Maksudnya engkau terhadap lafazh yang menempati pada kalam itu sebagaimana lafazh tersebut menempati.

Dan kadang-kadang alam (kalimat yang telah dipakai nama) dihikayat setelah lafazh man istifhamiah, jika tidak didahului oleh huruf athaf. Sebagaimana engkau berkata:

رأَيتُ خالداً
Lalu ada yang bertanya: منْ خالداً
Jika didahului oleh huruf athaf tidak boleh dihikayatkan, tetapi engkau berkata:

ومنْ خالدٌ؟
Hikayat jumlah, sebagaimana engkau berkata:

قلتُ: "لا إِلهَ إلاّ اللهُ
Aku mengucapkan ”la ilaha illa Allah”.

. سمعتُ: حيّ على الصلاة
Aku mendengar ”Hayya ’ala Ashshalah”

قرأتُ: قُلْ هوَ اللهُ أَحدٌ
Aku membaca ” Qul huwa Allahu ahad”

. كتبتُ: استَقِمْ كما أُمِرْتَ
Aku menulis “Istaqim kama umirta”
Maka jumlah-jumlah ini dihikayat, dan mahalnya nashab dengan fi’il sebelumnya, dan i’rabnya adalah mahalli.
Hukum jumlah ini keadaannya mabni, maka jika dikuasai oleh amil, mahalnya adalah rafa’ atau nashab atau jar sesuai dengan tuntutan amil, dan jika tidak dikuasai oleh amil, maka tidak bermahal dalam i’rab.

2. d. I’rab Musamma bih
Jika engkau memberi nama dengan kalimat mabni, engkau menetapkan pada keadaannya. Dan i’rabnya adalah ditakdirkan pada keadaan yang tiga. Seandainya engkau memberi nama seorang laki-laki dengan: "رُبّ" atau "مَنْ" atau "حيثُ" , engkau berkata:

جاء رُبّ. أَكرمتُ حيث. أَحسنتُ إلى مَن
Rubba (nama orang) telah datang, aku memuliakan Haetsu (nama orang), dan aku berbuat baik kepada Min (nama orang).

Maka harkat-harkat i’rabnya ditakdirkan atas huruf akhirnya, dicegah menzahirkan harkat bina yang asli.

Demikian pula, jika engkau menamai seseorang dengan jumlah, seperti:

تأبطَ شراً، وجاد الحقّ
Jumlah itu tidak dirubah dengan i’rab yang baru, maka engkau berkata:

جاء تأبطَ شراً، أَكرمتُ جادَ الحقُّ
Taabbata syarran (nama orang) telah datang.
Aku memuliakan Jadulhaq (nama orang).

Dan keadaan i’rab yang baru ditakdirkan, dicegah menzahirkan harkatnya karena ada harkat i’rab yang asli.

3. I’rab Mahalli
I’rab mahalli adalah perubahan redaksional dengan sebab amil, maka keadaan i’rabnya tidak zahir (tampak) atau muqaddar (ditakdirkan).
I’rab mahalli terdapat pada kalimat-kalimat yang mabni, seperti:

جاء هؤلاء التلاميذُ
Mereka murid-murid telah datang.

أَكرمتُ من تعلّمَ
Aku memuliakan orang-orang yang belajar.

وأَحسنتُ إلى الذين اجتهدوا
Aku berbuat baik kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh.

لم يَنجحنَّ الكسلانُ
Tidak akan berhasil orang-orang yang malas.

Dan terdapat pula pada jumlah mahkiah, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

(maka pada yang mabni tidak dizahirkan harkat i’rab pada akhirnya karena harkat akhirnya tetap pada satu keadaan, apabila pada salah satu yang mabni berada pada tempat lafazh yang dirafa’kan atau dinashabkan atau dijarkan atau dijazmkan, maka keadaan rafa’, nashab, jar dan jazmnya ditafsirkan, dan i’rabnya disbut i’rab mahalli. Maksudnya, dengan ditafsirkan mempunyai suatu keadaan, baik keadaan (mahalnya) dirafakan, dinashabkan dijarkan atau dijazmkan. Dan dikatakan pula: dirafa’kan mahalnya, maksudnya dengan memandang pada mahalnya dalam jumlah, dengan perkiraan jika keadaan mahalnya mu’rab, tentulah dirafa’kan, dinashabkan, dijarkan atau dijazmkan).

Kalimah-kalimah huruf, fi’il amr, fi’il madhi yang tidak bersambung dengan adat syarat yang menjazmkan, isim-isim fi’il, isim-isim shaut tidak berubah akhirnya, baik secara lafazh, takdir atau mahalnya, karena itu dikatakan:
لا محل لها من الإعراب
Tidak mempunyai mahal dalam i’rab.

Adapun fi’il mudhari’ yang mabni, maka i’rab mahalnya rafa’, nashab dan jazm, seperti:

هل يكتُبَن ويكتبْنَ. والله لن يكتبَن ولن يكتُبْنَ ولم تكتُبَن ولم يكتبْن
Adapun fi’il madhi yang didahului oleh adat syarat yang menjazmkan, maka ia dijazmkan mahalnya, seperti:

إن اجتهدَ عليٌ أَكرَمهُ معلمه
Jika Ali bersungguh-sungguh maka gurunya memuliakannya.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog