* Apabila pembaca mendapatkan kesalahan mohon berkenan mengoreksi (terima kasih).

Selasa, 11 Maret 2008

1.5. Kesimpulan I’rab

1.5. Kesimpulan I’rab

Kalimat I’rab dibagi empat bagian, yaitu: Musnad, Musnad ilaih, Fadhlah dan Adat.
Penjelasan mengenai musnad dan musnad ilaih telah lalu, dan keduanya disebut umdah, karena termasuk rukun kalam, maka dengan rukun kalam dicukupkan dari banyak keadaan, dan suatu jumlah tidak sempurna tanpa adanya rukun kalam.
Contoh musnad dan musnad ilaih ialah:

الصدقُ أَمانةٌ
Kebenaran itu adalah amanah.
Musnad ilaih harus berupa isim, sedangkan musnad, bisa berupa isim, seperti lafazh نافع dalam perkataanmu:
العلمُ نافعٌ
Ilmu itu bermanfaat.
Bisa berupa isim fi’il, seperti:

هيهاتَ المَزارُ
Dan bisa berupa fi’il, seperti:

جاء الحق و زهقَ الباطل
Hukum musnad ilaih, keadaannya dirafa’kan selamanya, sekiranya ada, contoh:
فاز المجتهدُ
Beruntunglah orang-orang yang bersungguh-sungguh.

الحق منصورٌ
Kebenaran itu menang.

كان عُمرُ عادلا
Umar adalah seorang yang adil.


Kecuali apabila jatuh setelah inna dan akhwatnya, maka ketika itu hukum musnad dinashabkan, contoh:
إنّ عمرَ عادلٌ
Sesungguhnya Umar itu adil.
I’rab Musnad
Hukum musnad –jika isim- keadaannya dirafa’kan, seperti:

السابقُ فائزٌ
Orang yang duluan (dalam suatu perlombaan) itu beruntung.

إِنّ الحقَّ غالبٌ
Sesungguhnya kebenaran itu mengalahkan.
Kecuali jika berada setelah kana dan akhwatnya, maka hukumnya nashab, contoh:
كان عليٌّ بابَ مدينةِ العلم
Adalah Ali pintu dari kota ilmu.

Apabila musnad itu fi’il, jika fi’il madhi maka dimabnikan kepada fatah selamanya, seperti: انتصر
Kecuali jika ditempeli oleh wau jamak, maka dimabnikan kepada dhamah, seperti: انتصروا atau dhamir rafa’ mutaharrik, maka dimabnikan kepada sukun, seperti: انتصرْتُ وانتصرْتمْ وانتصرنا

Jika fi’il mudhari’, maka dirafa’kan selamanya, seperti: ينصرُ
Kecuali apabila didahului oleh amil yang menashabkan, maka dinashabkan, seperti:
لَن تَبلغَ المجدَ إِلا بالجِدّ
Tidak akan sampai kepada kemuliaan kecuali dengan kesungguhan.
Atau amil yang menjazmkan, maka dijazmkan, seperti:
{ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَد ْ} [الإخلاص: 3].
Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Apabila bertemu dengan salah satu dari dua nun taukid, dimabnikan kepada fatah, seperti: يجتهدنَّ ويجتهدَنّ , atau bertemu dengan nun niswah, maka dimabnikan kepada sukun, seperti: الفتياتُ يجتهدْنَ

Apabila fi’il amr, maka ia dimabnikan kepada sukun selamanya, seperti: اكتبْ , kecuali jika fi’il itu mu’tal akhir, maka dimabnikan kepada membuang huruf akhir, seperti: اسعَ وادعُ وامشِ
Atau keadaannya bersambung dengan alif tatsniah atau wau jamak atau ya mukhatabah, maka dimabnikan kepada membuang nun, seperti: اكتبا واكتبوا واكتبي

Atau bersambung dengan salah satu dati dua nun taukid, maka dimabnikan kepada fatah, seperti: اكتُبَنْ واكتبَنّ

Fadhlah dan I’rabnya
Fadhlah adalah isim yang disebut untuk menyempurnakan makna jumlah, dan bukan merupakan salah satu dari rukun jumlah, maksudnya bukan musnad atau musnad ilaih, seperti lafazh الناس dari perkataanmu:

أَرشدَ الأنبياءُ الناسَ
Para Nabi memberi petunjuk kepada manusia.
(Lafazh menjadi musnad, dan lafazh menjadi musnad ilaih, lafazh menjadi fadhlahnya, dan bukan merupakan musnad dan musnad ilaih, dan fadhlah menurut bahasa fadhlah berarti tambahan).

Hukum fadhlah dinashabkan selamanya sekiranya ada, contoh:
يحترم الناس العلماء
Manusia menghormati para ulama.

أَحسنتُ إحساناً
Aku berbuat baik dengan sebaik-baiknya.

طلعت الشمس صافية
Matahari terbit dalam keadaan bersih.

جاء التلاميذ إِلا علياً
Murid-murid telah datang kecuali Ali.

سافرت يومَ الخميس
Aku bepergian pada hari Kamis.

جلستُ أَمامَ المِنبر
Aku duduk di depan podium.

وقف الناس احتراماً للعُلماء
Manusia berdiri untuk menghormati para ulama.

Kecuali apabila berada setelah huruf jar, atau setelah mudhaf, maka keduanya dijarkan, contoh:

كتبت بالقلم
Aku menulis dengan pena.

قرأت كتبَ التاريخ
Aku membaca buku sejarah.
Apa-apa yang dibolehkan menjadi umdah dan fadlah, dibolehkan pula rafa’ dan nashabnya, seperti mutsanna pada kalam manfi (negatif) yang disebut mustatsna minhu-nya, contoh:

ما جاء أَحدٌ إِلا سعيدُ، وإلا سعيداً
Tidak datang seseorang kecuali Said.
(Apabila engkau memelihara maknanya, engkau merafa’kan lafazh setelah إِلا untuk mewujudkan isnad, karena tidak ada yang datang. Apabila diisnadkan kepada lafazh احد maka mendatangkan musnad untuk سعيد dan musnad tetap padanya.
Apabila engkau memelihara lafazhnya, engkau menashabkan lafazh سعيدا karena menjadi fadhlah untuk menyempurnakan musnad dan musnad ilaih.
Apabila mustatsna minhu-nya disebut, dan kalamnya mutsbat (positif) lafazh sesudah إِلا harus dinashabkan, karena menjadi fadhlah baik pada lafazh maupun maknanya, contoh:
جاء القوم إِلاّ سعيداً
Kaum telah datang kecuali Said.
Apabila mustatsna minhu-nya dibuang dari kalam, (mustatsna) dirafa’kan, seperti pada contoh:
ما جاء إِلاّ سعيدٌ
Tidak ada yang datang kecuali Said.

Karena mustatsna menjadi musnad ilaih.

Dan (mustatsna) dinashabkan pada contoh:
ما رأيتُ إلاَ سعيداً
Aku tidak melihat kecuali Said.

Karena mustatsna menjadi fadhlah.

Dan (mustatsna) dijarkan pada contoh:
ما مررتُ إِلا بسعيدٍ
Aku tidak bertemu kecuali dengan Said.

Karena jatuh setelah huruf jar.

Adat dan Hukumnya
Adat adalah kalimat yang menjadi rabith (penghubung) di antara dua juz jumlah, atau di antara dua juz jumlah atau fadhlah, atau di antara dua jumlah. Yang demikian itu seperti adat-adat syarat, adat istifham, adat tahdhidh, adat tamanni, adat taruji, huruf-huruf yang menashabkan dan menjazmkan fi’il mudhari’, huruf-huruf jar dan sebagainya.
Hukum adat-adat itu tetap huruf akhirnya pada satu keadaan, karena mabni.

Adat-adat itu ada yang berupa isim yang menjadi musnad ilaih, seperti:
من مجتهدٌ؟
Siapakah orang yang bersungguh-sungguh?
Ada yang menjadi musnad, seperti:
خَيرُ مالِكَ ما أَنفقته في سبيل المصلحة العامة
Sebaik-baik hartamu adalah yang engkau nafkahkan pada jalan kemaslahatan umat.
Dan ada yang menjadi fadhlah, seperti:
احترمِ الذي يطلبُ العلمَ
Hormatilah orang-orang yang menuntut ilmu.

ِأَتّق شرَّ من أَحسنتَ اليه
Waspadalah dari kejahatan orang-orang yang engkau telah berbuat baik kepadanya.
Dan ketika itu, i’rabnya adalah pada keadaan rafa’, nashab dan jar secara mahalli.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog