* Apabila pembaca mendapatkan kesalahan mohon berkenan mengoreksi (terima kasih).

Selasa, 18 Maret 2008

1. MUQADDIMAH

MUKADDIMAH
1. Bahasa Arab dan Ilmu-ilmunya
2. Kalimah dan Pembagainnya
3. Murakkab (Susunan Kalimat), Macam-macam dan I’rabnya
4. I’rab dan Bina`
5. Kesimpulan I'rab

1.1 Bahasa Arab dan Ilmu-ilmunya

1. 1 Bahasa Arab dan Ilmu-ilmunya
Bahasa adalah lafazh yang digunakan oleh suatu bangsa (kelompok masyarakat) untuk menerangkan maksud-maksud mereka. Bahasa itu sangat banyak, dari segi lafazhnya berbeda tapi dari segi maknanya satu. Maksudnya, satu makna yang mengungkapkan maksud dari individu-individu. Namun, setiap bangsa dalam menerangkan suatu kata (lafazh) berbeda dengan bangsa lainnya.
Bahasa Arab adalah kalimat-kalimat yang digunakan oleh bangsa Arab untuk menerangkan maksud-maksud mereka dan telah sampai kepada kita dengan jalan periwayatan. Alquran dan Hadits Nabi SAW telah memeliharanya, dan juga apa-apa yang diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya dari prosa-prosa dan perkataan mereka.

Ilmu Bahasa Arab
Para ahli bahasa Arab merasa khawatir bahasa arab akan disia-siakan setelah bercampur dengan bahasa selain Arab, mereka mengumpulkan dalam kamus-kamus dan mereka sungguh-sungguh menyampaikan seraya memeliharanya dari kesalahan, dan dasar-dasar ilmu ini disebut ilmu-ilmu Bahasa Arab. Jadi ilmu-ilmu bahasa Arab adalah ilmu-ilmu yang dapat menyampaikan kepada pemeliharaan lisan dan tulisan dari kesalahan. Dan bahasa Arab mempunyai tiga belas bagian ilmu, yaitu: sharaf, i`rab (keduanya dikumpulkan dalam ilmu nahwu), rasm (tulisan), ma`ani, bayan, badi`(ketiganya termasuk pembahasan ilmu balaghah), arudh, qawafy, bacaan syair, insya (mengarang), khutbah, sejarah sastra dan matan lughah.

Sharaf dan I`rab
Dalam bahasa Arab, kalimat dibagi kepada dua keadaan, yaitu: mufrad (tunggal) dan tarkib (susunan). Pembahasan tentang kalimat mufrad, karena wazan dan keadaannya khusus, itu temasuk obyek dari ilmu sharaf. Dan pembahasan kalimat tarkib (berupa susunan dari beberapa kalimat) karena keadaan akhir kalimat yang menuntut kepada adanya suatu metode orang Arab pada perkataan mereka - dari segi rafa`, nashab, jar, jazm atau dari keadaan suatu kalimat yang tetap setelah mengalami perubahan, - dan hal ini menjadi obyek dari ilmu i`rab.
Dengan demikian sharaf adalah ilmu tentang pokok-pokok untuk mengetahui bentuk kalimat bahasa Arab dan keadaannya, bukan dari segi i`rab dan mabninya.

Maka sharaf adalah ilmu yang membahas tentang kalimat yang pembahasannya dilihat dari segi i`lal, izdgham, ibdal, dan dengan ilmu tersebut kita dapat mengetahui apa-apa yang mewajibkan membentuk suatu kalimat sebelum kita menyusunnya dalam kalimat jumlah. Obyek ilmu ini adalah isim mutamakkin (isim mu`rab) dan fi`il mutasharrif. Jadi ilmu sharaf tidakmembahas isim-isim mabni dan fi`il-fi`il yang jamid, juga tidak membahas kalimah huruf.
Ilmu sharaf telah lama menjadi bagian dari ilmu nahwu, hal ini diketahui karena ilmu nahwu adalah ilmu untuk mengetahui keadaan suatu kalimat bahasa Arab, baik secara mufrad (kata tunggal) atau murakkab (susunan).
Ilmu sharaf merupakan ilmu bahasa Arab yang sangat penting, karena ilmu ini meletakkan kepastian harkat suatu kalimat, dan mengetahui pembahasannya, lafazh-lafazh yang dinisbatkan kepadanya, dan merupakan ilmu yang mengumpulkan secara kiyas ataupun sama`i. Dan bertujuan mengetahui kalimat dari segi i`lal atau idzgham atau ibdal dan selain dari hal-hal yang pokok yang wajib bagi setiap sastrawan dan para ulama untuk mengetahuinya, karena takut jatuh kepada kesalahan yang banyak terjadi pada para sastrawan yang tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu yang agung ini.

I`rab adalah - yang pada saat ini disebut ilmu nahwu - yaitu ilmu untuk mengetahui keadaan suatu kalimat bahasa Arab dari segi i`rab dan mabninya, maksudnya untuk mengetahui dari segi susunannya, maka dengan i`rab kita mengetahui hal-hal yang mewajibkan keadaan akhir suatu kalimat dari segi rafa` atau nashab atau jar atau jazm, atau tetapnya suatu keadaan setelah tersusun dalam suatu jumlah. Dan mengetahuinya sangat penting bagi setiap orang yang akan membawakan suatu tulisan, khutbah dan pelajaran sastra Arab.

1.2. Kalimah dan Pembagiannya

Kalimat adalah lafazh yang menunjukkan suatu makna yang mufrad (tunggal).
Kalimah dibagi tiga, yaitu: Isim, fi’il dan Huruf.

Isim
Isim adalah kalimah yang menunjukkan kepada suatu makna pada dirinya tanpa diikuti oleh waktu, seperti:
خالد وَفرَسٍ وعُصفورٍ ودارٍ وحنطةٍ وماء
Ciri-ciri isim adalah:
- Sah diberitakan, seperti:
ta pada lafazh "كتبتُ"
alif pada lafazh "كتبَا"
wau pada lafazh "كتبوا"
- Atau menerima alif lam, seperti: الرجل
- Atau menerima tanwin, seperti: فرَس
- Atau menerima huruf nida, seperti: يا أيُّها الناسُ
- Atau menerima huruf jar, seperti: اعتمد على من تثِقُ به


Tanwin
Tanwin adalah nun sakinah zaidah yang mengikuti huruf akhir suatu lafazh dari isim-isim. Perbedaannya secara kutulisan dan kenyataan.
Tanwin dibagi tiga, yaitu:

1. Tanwin Tamkin, yaitu tanwin yang mengikuti isim-isim mu’rab yang munsharif, seperti: رجُلٍ وكتابٍ.
Karenanya tanwin ini disebut pula tanwin sharaf.

2. Tanwin Tankir, yaitu tanwin yang mengikuti sebagian isim-isim mabni, seperti isim fi’il, isim alam yang diakhiri dengan tanwin, contoh lafazh "وَيْه" , sebagai pembeda antara makrifat dan nakirahnya. Maka lafazh yang memakai tanwin adalah nakirah, dan lafazh yang tidak memakai tanwin adalah makrifat. Contoh:
"صَه وصَهٍ ومَه ومَهٍ وإيه وإيهٍ"
"مررتُ بسيبويه وسيبويهٍ آخرَ"
Aku bertemu dengan Imam Sibawaih dan Sibawaih yang lain
(Maksudnya seorang laki-laki lain yang bernama Sibawaih juga).
Sibawaih yang pertama adalah makrifat, sedangkan yang kedua adalah nakirah.
Apabila engkau berkata: "صه" (tanpa tanwin) berarti engkau menuntut agar sipembicara diam dari tema yang sedang dibicarakan.
Apabila engkau berkata: "مه" (tanpa tanwin) berarti engkau menuntut agar mukhathab tidak melakukan perbuatan tertentu.
Apabila engkau berkata: "ايه" (tanpa tanwin) berarti engkau menuntut agar mukhathab menambahkan cerita yang engkau ceritakan kepadanya.
Apabila engkau berkata: "صه ومه وايه" (dengan tanwin), maka engkau menuntut agar mukhathab berhenti dari semua pembicaraannya, dan menahan dari segala perbuatan, dan meminta tambahan dari cerita-serita lain.

3. Tanwin Iwadh (pengganti), yaitu:
- adakalanya menjadi pengganti dari isim mufrad, seperti pada lafazh:
"كلاً وبعضاً وأيّاً
- adakalanya menjadi pengganti dari mudhaf ilaih, seperti:
"كلُّ يموت" أي: كلُّ إنسان.
diantara contohnya, firman Allah SWT:
{وَكُـلاًّ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ} [النساء: 95]
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)

وقوله {تِلْكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ} [البقرة: 253]،
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.

وقوله: {أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ ٱلأَسْمَآءَ ٱلْحُسْنَىٰ} [الإسراء: 110].
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik)

- adakalanya menjadi pengganti dari jumlah, yaitu tanwin yang mengikuti lafazh "إذْ", sebagai pengganti dari jumlah setelahnya, seperti firman Allah SWT:
{فَلَوْلاَ إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ * وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ} [الواقعة: 83ـ84]
[83] Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,
[84] padahal kamu ketika itu melihat,
أي: حينَ إذْ بلغت الروحُ الحلقوم.

- dan adakalanya menjadi pengganti dari huruf. Yaitu tanwin yang mengikuti isim-isim manqush yang tercegah dari sharaf (tanwin), pada dua keadaan rafa’ dan jar sebagai pengganti dari huruf-huruf yang dibuang, seperti:
جَوارٍ وغَواشٍ وعَوادٍ واعَيمٍ (تصغير أعمى) وراجٍ (علم امرأة

dan lafazh seumpamanya dari setiap isim manqush yang tercegah dari sharaf (tanwin), maka diberi tanwin yang bukan tanwin sharaf sebagaimana tanwin pada isim-isim munsharif, karena lafazh ini tercegah dari tanwin, tanwin di sini adalah sebagai pengganti dari huruf ya yang dibuang, asal dari lafazh-lafazh tersebut adalah:
جَواري وَغواشي وعَوادي وأَعيمي وراجِي

Adapun pada keadaan nashab, huruf ya-nya dikembalikan dan dinashabkan tanpa tanwin, seperti:
دفعتُ عنك عواديَ. أكرمتُ أَعيميَ فقيراً. علَّمت الفتاةَ راجِيَ

Aku telah menolak darimu ........... (maaf maknanya belum ketemu)
Aku telah memuliakan seorang buta kecil yang fakir
Aku telah mengajarkan seorang pemudi ......... (maaf maknanya belum ketemu)

FI’IL
Fi’il adalah kalimah yang menunjukkan suatu makna pada dirinya dengan diikuti oleh waktu, seperti:
Ia telah datang : جاءَ
Ia sedang (akan) datang : يَجيءُ
Datanglah : جيءَ
Ciri fi’il adalah menerima huruf-huruf:
"قَدْ" أو "السينَ" أو سوْف"، أو "تاءَ التأنيثِ الساكنة،، أو "ضميرَ الفاعل"، أو "نون التوكيدِ"

Contoh-contoh:
Sungguh ia telah datang : قد قامَ
Kadang-kadang ia datang : قدْ يقومُ.
Engkau (pria) akan datang : ستذهبُ
Kelak kami akan datang : سوف نذهبُ
Ia (wanita) telah berdiri : قامتْ
Aku telah berdiri : قمت
Engkau (wanita) telah berdiri : قمتِ
Supaya dia benar-benar menulis : لِيكتبنّ
Supaya dia benar-benar menulis : لَيكتبَنْ
(benar-benar) Tulislah : اكتُبّن
(benar-benar) Tulislah : اكتبَنْ


HURUF
Huruf adalah kalimah yang menunjukkan suatu makna pada selainnya, contoh:
هَلْ وفي ولم وعلى وإنَّ ومِنْ
Dan tidak ada ciri yang membedakannya, sebagaimana pada isim dan fi’il.
Huruf dibagi tiga bagian, yaitu:
Huruf yang dikhususkan masuk kepada fi’il saja atau kepada isim saja, seperti huruf jar.
Huruf yang menashabkan kepada isim dan merafa’kan kepada khabar.
Huruf yang masuk kepada isim-isim, juga masuk kepada fi’il, seperti: huruf athaf dan huruf istifham.

1.3 Murakkab (Susunan Kalimat), Maca-macam dan I’rabnya (Bag.1)

Murakkab adalah suatu perkataan yang tersusun dari dua kalimat atau lebih yang mempunyai faidah, baik faidahnya secara sempurna, seperti:
"النجاةُ فى الصدق"
Kesuksesan itu ada pada kejujuran

atau faidahnya belum sempurna, seperti:
نور الشمس. الإنسانية الفاضلة. إن تُتقِن عَمَلك
Cahaya matahari
Sifat kemanusiaan yang sempurna
Jika engkau yakin pada perbuatanmu.

Murakkab ada enam, yaitu: Murakkab isnady (jumlah), murakkab idhafy, murakkab bayany, murakkab ‘athfy, murakkab mazjy, murakkab ‘adady.

3.1 Murakkab Isnady atau Jumlah
Isnad artinya hukum dengan sesuatu, sebagaimana hukum atas Zuhair dengan kesungguhan, dalam kalimat:
"زُهيرٌ مجتهد"
Zuhair itu orang yang bersungguh-sungguh.

Yang menerima suatu hukum itu disebut musnad
Yang dikenai hukum itu disebut musnad ilaih.
Jadi, musnad adalah lafazh yang engkau memberi suatu hukum dengan lafazh tersebut. Sedangkan musnad ilaih adalah lafazh yang engkau memberi hukum kepada lafazh tersebut.
Murakkab isnady, yang disebut pula dengan jumlah, adalah jumlah yang tersusun dari musnad dan musnad ilaih, contoh:
الحلمُ زينٌ. يُفلحُ المجتهدُ
Lemah lembut itu hiasan
Beruntunglah orang yang bersungguh-sungguh

الحلمُ adalah musnad ilaih, karena engkau menyandarkan lafaz زينٌ kepadanya dan memberi hukum atasnya. Sedangkan lafazh زينٌ itu musnad (yang disandarkan), karena engkau menyandarkan lafazh tersebut kepada lafazh الحلمُ . Dan sungguh lafazh يُفلحُ disandarkan kepada lafazh المجتهدُ , maka lafazh يُفلحُ itu musnad ilaih dan lafazh المجتهدُ itu musnad.

Musnad ilaih itu adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada, isim fi’il naqish, isim huruf yang beramal dengan amal laisa, isim inna dan akhwatnya, isim la nafy liljinsy.
Contoh-contoh:
فالفاعلُ مثلُ: "جاء الحق وزهقَ الباطل".
Fa’il, seperti: ”Kebenaran itu telah datang dan kepalsuan itu segera menghilang”.
ونائبُ الفاعل مثل: "يعاقبُ العاصون، ويثابُ الطائعون".
Naib Fa’il, seperti: ”Orang-orang yang durhaka akan disiksa, dan orang-orang yang taat akan diberi pahala”.
والمبتدأُ مثل: "الصبرُ مفتاحُ الفرَجِ".
Mubtada, seperti: ”Sabar itu kunci kelapangan”.
واسمُ الفعلِ الناقص مثلُ: {وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً} [النساء: 17].
Isim fi’il naqish, seperti: ” Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
واسمُ الأحرفِ التى تعملُ عملَ "ليس" مثلُ: "ما زُهيرٌ كَسولا. تَعزّ فلا شيءٌ على الارض باقياً. لاتَ ساعةَ مندَمِ. إنْ أحدٌ خيراً من أحدٍ إلا بالعلمِ والعمل الصالح".
Isim huruf-huruf yang beramal seperti amal laisa, seperti:
- Zuhaer bukanlah orang yang malas.
-
-
- Tidaklah sekali-kali seorang lebih baik dari yang lain selain dengan ilmu dan amal shaleh.
واسمُ "إنّ" مثلُ: {ِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ} [آل عمران: 119].
Isim inna dan akhwatnya, seperti: ” Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.
واسمُ "لا" النافية للجنس مثل {لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ ٱللَّهُ} [الصافات: 35].
Isim la nafy liljinsy, seperti: ”Tiada Tuhan selain Allah”.


Musnad yaitu: fi’il, isim fi’il, khabar mubtada, khabar fi’il naqish, khabar huruf-huruf yang beramal dengan amal laisa, khabar inna dan akhwatnya.
Musnad bisa berupa:
- Fi’il, seperti:
- {قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ} [المؤمنون: 1]
Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman

- Sifat yang dimusytaq dari fi’il, seperti:
الحق أبلجُ
Kebenaran itu lebih terang

- Isim jamid yang mengandung makna isim sifat yang musytaq, seperti:
الحقُ نورٌ، والقائمُ به أسدٌ
- (والتأويل: (الحق مضيء كالنورِ، والقائم به شجاع كالاسد).
Kebenaran itu lebih terang, dan yang berpegang teguh kepadanya adalah singa. (takwilnya: Kebenaran itu menyinari keperti cahaya, dan orang yang berpegang teguh kepadanya berani seperti singa).

Tentang mufrad dan musnad ilaih akan dijelaskan nanti pada pembicaraan tentang i’rab, pada sub judul Khulashah (kesimpulan) Bahasa Arab.

Kalam
Kalam adalah jumlah yang mempunyai faidah terhadap makna yang sempurna yang cukup dengan dirinya, seperti:
رأس الحكمةِ مخافةُ الله
Pokok dari hikmah adalah merasa takut kepada (azab) Allah.
. فاز المُتَّقون
Beruntunglah orang-orang yang bertakwa.
من صدَق نج
Barang siapa yang benar pasti selamat.

Apabila jumlah itu belum mempunyai suatu faidah terhadap suatu makna yang sempurna yang cukup dengan dirinya, maka tidak disebut dengan kalam, seperti:
ان تجتهد في عملك
Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu

Maka kalimat ini jumlah yang belum mempunyai faidah, karena jawab syarat dari kalimat ini belum disebut dan tidak diketahui, maka ini tidak disebut dengan kalam, tetapi jika engkau telah menyebutkan jawabnya, seperti:
ان تجتهد في عملك تنجح،
Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu, engkau pasti sukses.
Maka kalimat ini menjadi kalam.

3.2 Murakkab Idhafy
Murakkab idhafy adalah kalimat yang tersusun dari mudhaf dan mudhaf ilaih, contoh:
Buku murid : كتاب التلميذ
Cincin perak : خاتم فضةٍ
Puasa nahar (arafah) : صوْم النهار

Hukum bacaan juz yang kedua itu dijarkan selamanya, sebagaimana engkau lihat.

3.3 Murakkab Bayany
Murakkab bayany adalah setiap dua kalimat yang kalimat keduanya menjelaskan makna dari kalimat pertama. Murakkab ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
- Murakkab washfy, yaitu murakkab yang tersusun dari sifat dan maushuf, contoh:
فاز التلميذُ المجتهدُ.
Telah beruntung murid yang sungguh-sungguh.
أكرمتُ التلميذَ المجتهدَ.
Aku memuliakan murid yang sungguh-sungguh.
طابت اخلاقُ التلميذِ المجتهدِ
Telah bagus akhlak dari murid yang sungguh-sungguh.

- Murakkab taukidy (taukid), yaitu murakkab yang tersusun dari muakkad dan muakkid, contoh:
جاء القومُ كلُّهُم.
Kaum itu telah datang seluruhnya.
أكرمتُ القومَ كُلَّهم،
Aku memuliakan kaum itu seluruhnya.
، أحسنتُ إلى القوم كلِّهم
Aku menganggap baik kepada kaum itu seluruhnya.

- Muakkad badaly, yaitu muakkad yang terdiri dari badal dan mubdal minhu, contoh:
جاء خليلٌ أخوك
Telah datang Khalil saudaramu.
رأيت خليلاً أخاك
Aku telah melihat Khalil saudaramu.
. مررت بخليلٍ أخيكَ
Aku telah bertemu dengan Khalil saudaramu.

Hukum juz kedua dari murakkab bayany adalah mengikuti juz yang pertama pada i’rabnya, sebagaimana engkau lihat.


3.4 Murakkab ’Athfy
Murakkab ’Athfy adalah murakkab yang disusun dari ma’thuf dan ma’thuf ilaih, dengan perantaraan huruf athaf diantara keduanya, contoh:
ينالُ التلميذُ والتلميذةُ الحمدَ والثَّناء، إذا ثابرا على الدرس والاجتهاد
Murid laki-laki dan murid perempuan menerima pujian dan sanjungan apabila keduanya selalu belajar dan bersungguh-sungguh.

Hukum lafazh setelah huruf athaf adalah mengikuti lafazh sebelumnya dalam i’rabnya.

3.5 Murakkab Mazjy
Murakkab mazjy adalah setiap dua kalimat yang keduanya disusun menjadi satu kalimat, seperti:
بعلبكْ وبيت لحمْ وحضْرموت وسيبويه وصباح مساء وشذر مذر

Apabila murakkab mazjy itu berupa alam, maka dii’rab dengan i’rab isim ghair munsharif, contoh:
بعلبكْ بلدةٌ طيبةُ الهواء
Ba’labak adalah negara yang udaranya sejuk.
سكنتُ بيت لحم
Aku tinggal di Baitulahmi (Betlehm).
سافرتُ إلى حضْرموْت
Aku pergi ke Hadhramaut.

Apabila keadaan juz keduanya itu lafazh "ويْه", maka dimabnikan kepada kasrah selamanya, contoh:
سيبويه عالمٌ كبيرٌ
Imam Sibawaih adalah seorang alim yang agung.
رأيتُ سيبويه عالماً كبيراً
Aku memandang Imam Sibawaih sebagai seorang alim yang agung.
قرأتُ كتاب سيبويه
Aku membaca kitab Imam Sibawaih.

Apabila keadaan murakkab mazjy itu bukan alam, kedua juznya dimabnikan kepada fatah, contoh:
زُرْني صباح مساء
Shabaha masaa (nama orang) mengunjungiku.
أنت جاري بيت بيت
Engkau, Baita baita (nama orang) tetanggaku.

3. 6 Murakkab ’Adady
Murakkab ’adady adalah bagian dari murakkab mazjy, yaitu setiap dua bilangan yang disusun dengan perantaraan huruf athaf yang ditakdirkan, yaitu bilangan dar أحد عشر sampai تسعة عشر . Dan dari الحادي عشر sampai الحادي عشر .
(Adapun bilangan واحد وعشرون sampai تسعة وتسعين tidak termasuk murakkab ’adady, karena huruf athafnya disebut, jadi termasuk murakkab ’athfy).
Harkat fatah pada kedua juz murakkab ’adady adalah wajib, baik keadaannya dirafa’kan, seperti:
جاء أحدَ عشر رجلاً
Telah datang sebelas laki-laki.

Atau dinashabkan, seperti:
{رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَباً} [يوسف: 4]
Aku melihat sebelas bintang.

Atau dijarkan, seperti:
أحسنتُ الى أحد عشر فقيراً
Aku berbuat baik kepada sebelas orang fakir.

Walaupun keadaan kedua juz ketika itu adalah mabni fatah, tetapi keadaan mahalnya dirafa’kan atau dinashabkan atau dijarkan, kecuali bilangan اثنيْ عشر , kalimat ini juz awalnya di’irab dengan i’rab mutsanna, yaitu rafa’nya dengan alif, seperti:
جاء اثنا عشر رجلاً
Telah datang dua belas laki-laki.

Nashabnya dengan ya, seperti:
أكرمتُ اثنتي عشرة فقيرةً باثني عشر درهماً".
Aku memuliakan dua belas orang fakir (perempuan) dengan dua belas dirham.

Dan juz keduanya dimabnikan kepada fatah, dan tidak ada mahal baginya dalam i’rab, maka lafazh itu menempati tempat nun dari mutsanna.
Dan bilangan yang berwazan فاعل yang tersusun dari lafazh العشرة seperti:
الحادي عشر sampai التاسع عشر maka kedua juznya dimabnikan kepada fatah, seperti:
جاء الرابع عشر
Telah datang yang kelima belas.
رأيتُ الرابعة عشْرة،
Aku melihat yang kelima belas.
مررتُ بالخامس عشر
Aku bertemu dengan yang kelima belas.

Kecuali apabila juz yang awalnya diakhiri dengan huruf ya, maka keadaan juz awal itu dimabnikan kepada sukun, seperti:
جاء الحادي عَشرَ والثاني عشرَ
Telah datang yang kesebelas dan yang kedua belas.
ورأيتُ الحاديَ عَشرَ والثانيَ عشرَ
Aku melihat yang kesebelas dan yang kedua belas.
ومررتُ بالحادي عَشرَ والثاني عشر
Aku bertemu dengan yang kesebelas dan yang kedua belas.

Hukum ’adad (hitungan) dan ma’dud (yang dihitung)
Jika keadaan ’adadnya satu atau dua maka hukumnya dimudzakkarkan beserta ma’dudnya mudzakkar, dan ’adadnya dimuannatskan jika ma’dudnya muannats.
Engkau berkata:
رجلٌ واحد، وامرأةٌ واحدة
Sorang laki-laki, dan seorang perempuan.
ورجلانِ اثنانِ، وامرأتان
Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Lafazh أحدٌ sebagaimana واحدٍ , engkau berkata:
أحدُ الرجال، احدى النساءِ
Seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Apabila ’adadnya dari tiga sampai sepuluh, wajib dimuannatskan beserta (yang dihitungnya) mudzakkar. Dan ’adad dimudzakkarkan beserta (yang dihitungnya) muannats, Engkau berkata:
ثلاثةُ رجالٍ وثلاثة أقلامٍ
Tiga laki-laki dan tiga pena.
ثلاث نساءٍ وثلاث أيدٍ
Tiga wanita dan tiga tangan.

Kecuali apabila ‘adanya العشرةُ (sepuluh) disusun, maka disesuaikan dengan ma’dud (yang dihitung), dimudzakkarkan beserta (yang dihitungnya) mudzakkar dan ‘adadnya dimuannatskan beserta (yang dihitungnya) muannats, Engkau berkata:
ثلاثة عشر رجلاً، وثَلاث عشْرة امرأةً
Tiga belas laki-laki dan tiga belas perempuan.

Apabila keadaan ‘adadnya berwazan فاعلٍ datang disesuaikan dengan ma’dud yang mufrad dan murakkab, engkau berkata:
البابُ الرابعُ، والبابُ الرابعَ عَشرَ
Bab yang keempat dan bab yang keempat belas.
الصفحة العاشرة، والصفحة التاسعةَ عشْرةَ
Halaman sepuluh dan halaman yang kesembilan belas.

Harkat huruf syin pada lafazh العشرةِ والعشر difatahkan beserta ma’dud yang mudzakkar, dan sukun beserta ma’dud yang muannats, engkau berkata:
عَشَرة رجال وأحد عشَرة رجلا
Sepuluh laki-laki dan sebelas laki-laki.
عَشَرة رجال وأحد عشَرة رجلا
Sepuluh perempuan dan sebelas perempuan.

1.4 I’rab dan Bina

Maaf, sedang dalam pengetikan

1.5 Kesimpulan I’rab

Maaf, sedang dalam pengetikan

2. FI'IL DAN PEMBAGIANNYA

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.1 Fi'il Muta'addi

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.2 Fi'il Lazim

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.3 Ma'lum dan Majhul

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.4 Shahih dan Mu'tal

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.5 Mujarrad dan Mazid fih

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.6 Jamid dan Mutasharrif

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.7 Fi'il Ta'ajjub

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.8 Fi'il untuk Memuji dan Mencela

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.8 Fi'il untuk Memuji dan Mencela

Maaf, sedang dalam pengetikan

2.9 Dua Nun Taukid dan Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

3. ISIM DAN PEMBAGIANNYA

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.1 Mausuf dan Sifat

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.2 Mudzakkar dan Muannats

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.3 Maqshur, Mamdud dan Manqush

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.4 Isim Jinis dan Isim Alam

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.5 Isim Dhamir dan Macam-macamnya

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.6 Isim Isyarah

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.7 Isim Maushul

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.8 Isim Istifham

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.9 Isim Kinayah

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.10 Makrifat dan Nakirah

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.11 Isim Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.12 Isim Shaut

Maaf, sedang dalam pengetikan

3.13 Isim-isim yang Menterupai Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

4. TASHRIF FI'IL

Maaf, sedang dalam pengetikan

4.1 Makna Tashrif

Maaf, sedang dalam pengetikan

4.2 Musytaq dari Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

4.3 Wazan-wazan Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

4.4 Tashrif Fi'il beserta Dhamir

Maaf, sedang dalam pengetikan

5. TASHRIF ISIM-ISIM

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.1 Jamid dan Musytak

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.2 Mujarrad dan Mazid Fih

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.3 Wazan-wazan Isim

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.4 Mutsanna dan Hukum-hukumnya

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.5 Jamak Mudzakkar Salim

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.6 Jamak Muannats Salim

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.7 Jamak Taksir

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.8 Nishbat dan Hukum-hukumnya

Maaf, sedang dalam pengetikan

5.9 Tashghir

Maaf, sedang dalam pengetikan

6. TASHRIF MUSYTARAK

Maaf, sedang dalam pengetikan

6.1 Idzgham

Maaf, sedang dalam pengetikan

6.2 I'lal

Maaf, sedang dalam pengetikan

6.3 Bentuk Fi'il Amr

Maaf, sedang dalam pengetikan

6.4 Waqaf

Maaf, sedang dalam pengetikan

6.5 Khat

Maaf, sedang dalam pengetikan

7. PEMBAHASAN TENTANG I'RAB FI'IL

Maaf, sedang dalam pengetikan

7.1 Mabni dan Mu'rab pada Fi'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

7.2 Bentuk Fi'il Madhi

Maaf, sedang dalam pengetikan

7.3 Bentuk Fi'il Amr

Maaf, sedang dalam pengetikan

7.4 Fi'il Mudhari' dan Bentuknya

Maaf, sedang dalam pengetikan

8. I'rab pada Isim-isim dan Mabni

Maaf, sedang dalam pengetikan

8.1 Mu'rab dan Mabni pada Isim

Maaf, sedang dalam pengetikan

8.2 Isim Mabni

Maaf, sedang dalam pengetikan

8.3 Macam-macam I'rab pada Isim

Maaf, sedang dalam pengetikan

9. ISIM-ISIM YANG DIRAFA'KAN

Maaf, sedang dalam pengetikan

9.1 Fa'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

9.2 Naib Fa'il

Maaf, sedang dalam pengetikan

9.3 Mubtada dan Khabar

Maaf, sedang dalam pengetikan

9.4 Fi'il Naqish

Maaf, sedang dalam pengetikan

9.5 Huruf-huruf Laisa

maaf sedang dalam pengetikan

9.6 Huruf-huruf yang Menyerupai Fi'il

maaf sedang dalam pengetikan

9.7 La Nafyi Liljinsi

maaf sedang dalam pengetikan

10. ISIM-ISIM YANG DINASHABKAN

maaf sedang dalam pengetikan

10.1 Maf'ul Bih

maaf sedang dalam pengetikan

10.2 Maf'ul Mutlak

maaf sedang dalam pengetikan

10.3 Maf'ul Lah

maaf sedang dalam pengetikan

10.4 Maf'ul Fih

maaf sedang dalam pengetikan

10.5 Maf'ul Ma'ah

maaf sedang dalam pengetikan

10.6 Hal

Maaf sedang dalam pengetikan

10.7 Tamyiz

maaf sedang dalam pengetikan

10.8 Istitsna

maaf sedang dalam pengetikan

10.9 Munada

maaf sedang dalam pengetikan

11. ISIM-ISIM YANG DIJARKAN

maaf sedang dalam pengetikan

11.1 Idhafat

maaf sedang dalam pengetikan

11.2 Huruf Jar

maaf sedang dalam pengetikan

12. TAWABI' DAN I'RABNYA

maaf sedang dakam pengetikan

12.1 Naat

maaf sedang dalam pengetikan

12.2 Taukid

Maaf sedang dalam pengetikan

12.3 Badal

maaf sedang dalam pengetikan

12.4 Athaf Bayan

Maaf sedang dalam Pengetikan

12.5 Ma'thuf dengan Huruf

Maaf sedang dalam pengetikan

13. HURUF-HURUF MA'ANI

maaf sedang dalam pengetikan

13. 1 Macam-macam Huruf

maaf sedang dalam pengetikan

14. PENUTUP (Pembahasan tentang I'rab yang berbeda)

maaf sedang dalam pengetikan

14.1 Amil. Ma'mul dan Amal

maaf sedang dalam pengetikan

14.2 Amal Masdar, Sifat dan Lafazh yang menyerupai sifat

maaf sedang dalam pengetikan

14.3 Jumlah dan Macam-macamnya

maaf sedang dalam pengetikan

Selasa, 11 Maret 2008

1.5. Kesimpulan I’rab

1.5. Kesimpulan I’rab

Kalimat I’rab dibagi empat bagian, yaitu: Musnad, Musnad ilaih, Fadhlah dan Adat.
Penjelasan mengenai musnad dan musnad ilaih telah lalu, dan keduanya disebut umdah, karena termasuk rukun kalam, maka dengan rukun kalam dicukupkan dari banyak keadaan, dan suatu jumlah tidak sempurna tanpa adanya rukun kalam.
Contoh musnad dan musnad ilaih ialah:

الصدقُ أَمانةٌ
Kebenaran itu adalah amanah.
Musnad ilaih harus berupa isim, sedangkan musnad, bisa berupa isim, seperti lafazh نافع dalam perkataanmu:
العلمُ نافعٌ
Ilmu itu bermanfaat.
Bisa berupa isim fi’il, seperti:

هيهاتَ المَزارُ
Dan bisa berupa fi’il, seperti:

جاء الحق و زهقَ الباطل
Hukum musnad ilaih, keadaannya dirafa’kan selamanya, sekiranya ada, contoh:
فاز المجتهدُ
Beruntunglah orang-orang yang bersungguh-sungguh.

الحق منصورٌ
Kebenaran itu menang.

كان عُمرُ عادلا
Umar adalah seorang yang adil.


Kecuali apabila jatuh setelah inna dan akhwatnya, maka ketika itu hukum musnad dinashabkan, contoh:
إنّ عمرَ عادلٌ
Sesungguhnya Umar itu adil.
I’rab Musnad
Hukum musnad –jika isim- keadaannya dirafa’kan, seperti:

السابقُ فائزٌ
Orang yang duluan (dalam suatu perlombaan) itu beruntung.

إِنّ الحقَّ غالبٌ
Sesungguhnya kebenaran itu mengalahkan.
Kecuali jika berada setelah kana dan akhwatnya, maka hukumnya nashab, contoh:
كان عليٌّ بابَ مدينةِ العلم
Adalah Ali pintu dari kota ilmu.

Apabila musnad itu fi’il, jika fi’il madhi maka dimabnikan kepada fatah selamanya, seperti: انتصر
Kecuali jika ditempeli oleh wau jamak, maka dimabnikan kepada dhamah, seperti: انتصروا atau dhamir rafa’ mutaharrik, maka dimabnikan kepada sukun, seperti: انتصرْتُ وانتصرْتمْ وانتصرنا

Jika fi’il mudhari’, maka dirafa’kan selamanya, seperti: ينصرُ
Kecuali apabila didahului oleh amil yang menashabkan, maka dinashabkan, seperti:
لَن تَبلغَ المجدَ إِلا بالجِدّ
Tidak akan sampai kepada kemuliaan kecuali dengan kesungguhan.
Atau amil yang menjazmkan, maka dijazmkan, seperti:
{ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَد ْ} [الإخلاص: 3].
Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Apabila bertemu dengan salah satu dari dua nun taukid, dimabnikan kepada fatah, seperti: يجتهدنَّ ويجتهدَنّ , atau bertemu dengan nun niswah, maka dimabnikan kepada sukun, seperti: الفتياتُ يجتهدْنَ

Apabila fi’il amr, maka ia dimabnikan kepada sukun selamanya, seperti: اكتبْ , kecuali jika fi’il itu mu’tal akhir, maka dimabnikan kepada membuang huruf akhir, seperti: اسعَ وادعُ وامشِ
Atau keadaannya bersambung dengan alif tatsniah atau wau jamak atau ya mukhatabah, maka dimabnikan kepada membuang nun, seperti: اكتبا واكتبوا واكتبي

Atau bersambung dengan salah satu dati dua nun taukid, maka dimabnikan kepada fatah, seperti: اكتُبَنْ واكتبَنّ

Fadhlah dan I’rabnya
Fadhlah adalah isim yang disebut untuk menyempurnakan makna jumlah, dan bukan merupakan salah satu dari rukun jumlah, maksudnya bukan musnad atau musnad ilaih, seperti lafazh الناس dari perkataanmu:

أَرشدَ الأنبياءُ الناسَ
Para Nabi memberi petunjuk kepada manusia.
(Lafazh menjadi musnad, dan lafazh menjadi musnad ilaih, lafazh menjadi fadhlahnya, dan bukan merupakan musnad dan musnad ilaih, dan fadhlah menurut bahasa fadhlah berarti tambahan).

Hukum fadhlah dinashabkan selamanya sekiranya ada, contoh:
يحترم الناس العلماء
Manusia menghormati para ulama.

أَحسنتُ إحساناً
Aku berbuat baik dengan sebaik-baiknya.

طلعت الشمس صافية
Matahari terbit dalam keadaan bersih.

جاء التلاميذ إِلا علياً
Murid-murid telah datang kecuali Ali.

سافرت يومَ الخميس
Aku bepergian pada hari Kamis.

جلستُ أَمامَ المِنبر
Aku duduk di depan podium.

وقف الناس احتراماً للعُلماء
Manusia berdiri untuk menghormati para ulama.

Kecuali apabila berada setelah huruf jar, atau setelah mudhaf, maka keduanya dijarkan, contoh:

كتبت بالقلم
Aku menulis dengan pena.

قرأت كتبَ التاريخ
Aku membaca buku sejarah.
Apa-apa yang dibolehkan menjadi umdah dan fadlah, dibolehkan pula rafa’ dan nashabnya, seperti mutsanna pada kalam manfi (negatif) yang disebut mustatsna minhu-nya, contoh:

ما جاء أَحدٌ إِلا سعيدُ، وإلا سعيداً
Tidak datang seseorang kecuali Said.
(Apabila engkau memelihara maknanya, engkau merafa’kan lafazh setelah إِلا untuk mewujudkan isnad, karena tidak ada yang datang. Apabila diisnadkan kepada lafazh احد maka mendatangkan musnad untuk سعيد dan musnad tetap padanya.
Apabila engkau memelihara lafazhnya, engkau menashabkan lafazh سعيدا karena menjadi fadhlah untuk menyempurnakan musnad dan musnad ilaih.
Apabila mustatsna minhu-nya disebut, dan kalamnya mutsbat (positif) lafazh sesudah إِلا harus dinashabkan, karena menjadi fadhlah baik pada lafazh maupun maknanya, contoh:
جاء القوم إِلاّ سعيداً
Kaum telah datang kecuali Said.
Apabila mustatsna minhu-nya dibuang dari kalam, (mustatsna) dirafa’kan, seperti pada contoh:
ما جاء إِلاّ سعيدٌ
Tidak ada yang datang kecuali Said.

Karena mustatsna menjadi musnad ilaih.

Dan (mustatsna) dinashabkan pada contoh:
ما رأيتُ إلاَ سعيداً
Aku tidak melihat kecuali Said.

Karena mustatsna menjadi fadhlah.

Dan (mustatsna) dijarkan pada contoh:
ما مررتُ إِلا بسعيدٍ
Aku tidak bertemu kecuali dengan Said.

Karena jatuh setelah huruf jar.

Adat dan Hukumnya
Adat adalah kalimat yang menjadi rabith (penghubung) di antara dua juz jumlah, atau di antara dua juz jumlah atau fadhlah, atau di antara dua jumlah. Yang demikian itu seperti adat-adat syarat, adat istifham, adat tahdhidh, adat tamanni, adat taruji, huruf-huruf yang menashabkan dan menjazmkan fi’il mudhari’, huruf-huruf jar dan sebagainya.
Hukum adat-adat itu tetap huruf akhirnya pada satu keadaan, karena mabni.

Adat-adat itu ada yang berupa isim yang menjadi musnad ilaih, seperti:
من مجتهدٌ؟
Siapakah orang yang bersungguh-sungguh?
Ada yang menjadi musnad, seperti:
خَيرُ مالِكَ ما أَنفقته في سبيل المصلحة العامة
Sebaik-baik hartamu adalah yang engkau nafkahkan pada jalan kemaslahatan umat.
Dan ada yang menjadi fadhlah, seperti:
احترمِ الذي يطلبُ العلمَ
Hormatilah orang-orang yang menuntut ilmu.

ِأَتّق شرَّ من أَحسنتَ اليه
Waspadalah dari kejahatan orang-orang yang engkau telah berbuat baik kepadanya.
Dan ketika itu, i’rabnya adalah pada keadaan rafa’, nashab dan jar secara mahalli.

Senin, 10 Maret 2008

1.4 I’rab dan Bina (bag. 2)

1.4 I’rab dan Bina (bag. 2)

Pembagian I’rab
I’rab dibagi tiga, yaitu: Lafzhi, Takdiri, dan Mahalli

1. I’rab Lafzhi
I’rab lafzhi adalah pengaruh yang jelas pada akhir kalimat sesuai dengan tuntutan dari amil. I’rab lafzhi terdapat pada kalimat mu’rab yang tidak mu’tal akhir, seperti:

يُكرم الأستاذُ المجتهد
Dimuliakan ustadz yang sungguh-sungguh.
2. I’rab Takdiri
i’rab takdiri adalah pengaruh yang tidak nampak terhadap akhir suatu kalimat sesuai dengan tuntutan amil, maka keadaan harkatnya ditakdirkan karena tidak bisa dilihat.
I’rab takdiri terdapat pada kalimat-kalimat ku’tal akhir dengan alif atau wau atau ya, dan pada kalimat yang dimudhafkan kepada ya mutakallim, dan pada kalimat yang di’irab dengan hikayat bila tidak berupa jumlah, dan juga pada kalimat-kalimat yang dinamai mabni atau jumlah.

2. a. I’rab mu’tal akhir
Alif ditakdirkan atasnya dalam harkat yang tiga karena sukar (ta’adzur).
Contoh:

يَهوَى الفتى الهدَى للعُلى
Pemuda itu ingin mendapat petunjuk untuk memperoleh ketinggian.
Adapun pada keadaan jazm, alif dibuang karena jazm, contoh:

لم نخشَ إلا اللهَ
Kami tidak takut kecuali kepada (azab) Allah.

Makna ta’adzur adalah alamat i’rab tidak dapat dizahirkan (ditampakkan) selamanya.

Wau dan ya ditakdirkan atas keduanya dalam i’rab dhamah dan kasrah karena berat (Tsaqal). Contoh:

يَقضي القاضي على الجاني
Hakim (qhadhi) menuntut orang yang berbuat dosa.

يدعو الداعي إلى النادي
Dai mengajak kepada suatu kumpulan.
Adapun pada keadaan nashab, maka jika i’rab fatah dizahirkan pada keduanya karena ringan, contoh:

لن أَعصِيَ القاضيَ
Aku tidak akan mendurhakai hakim (qhadhi).

لَنْ أَدعوَ إلى غير الحق".
Aku tidak akan mengajak kepada yang selain kebenaran.
Makna tsaqal adalah menzahirkan dhamah dan kasrah atas wau dan ya itu masih mungkin, seperti:

يقضيُ القاضيُ على الجانيِ. يَدعوُ الداعيُ إلى الناديِ
Tetapi harkat pada kedua contoh di atas berat untuk mengatakannya, karena itu keduanya (dhamah dan kasrah) dibuang dan ditakdirkan, maksudnya keadaan keduanya dipandang dalam ingatan saja.

2. b. I’rab kalimah yang di mudhafkan kepada ya mutakallim.
Isim yang dimudhafkan kepada ya mutakallim di’irab – apabila bukan merupakan isim maqshur, isim manqush, mutsanna, jamak mudzakkar salim – pada dua keadaan, yaitu rafa’ dan nashab dengan dhamah dan fatah muqaddarah (yang ditakdirkan) atas huruf akhirnya, kedua harkat yang sesuai itu dicegah untuk ditampakkan. Contoh:

ربيَ اللهُ
Rabb-ku adalah Allah.

أطعتُ ربي
Aku taat kepada Allah.
Adapun pada keadaan jar, di’irab dengan kasrah secara jelas pada huruf akhir, menurut pendapat yang paling sahih, contoh:

لزِمتُ طاعةَ ربي
Aku melazimkan taat kepada Rabb-ku.

(Ini merupakan pandangan jama’ah muhakikin, diantanya adalah Ibnu Malik. Dan menurut jumhir ulama, pada keadaan jar, juga mu’rab dengan kasrah yang ditakdirkan pada akhir kalimat, karena mereka memandang bahwa kasrah yang ada bukan alamat jar, melainkan kasrah yang dituntut ya mutakallim ketika bersambung dengan isim, dan kasrah jar ditakdirkan. Dan tidak ada tuntutan pada pembebanan ini).

Maka jika keadaan mudhaf kepada ya itu isim maqshur, maka alifnya tetap pada tempatnya dan dii’rab dengan harkat muqaddarah atas alif sebagaimana keadaannya dii’rab sebelum bersambung dengan ya mutakallim, contoh:

هذه عصايَ وأمسكتُ عصايَ و توكأت على عصايَ
Ini tongkatku, aku memegang tongkatku, dan aku bertopang pada tongkatku.
Apabila keadaannya manqush diidzghamkan ya-nya kepada ya mutakallim. Dan dii’rab ketika nashab dengan fatah yang ditakdirkan atas ya, dilarang menzahirkan keduanya karena sukun idzgham, contoh:

حمِدتُ الله مُعطِيّ الرزقَ
Aku memuji kepada Allah yang Maha Pemberi rizki.

Dan dii’rab pada keadaan rafa’ dan jar dengan dhamah atau kasrah yang keduanya ditakdirkan pada ya. Terhalang menzahirkan keduanya karena yang pertama berat, dan yang kedua sukun idzgham. Contoh:

اللهُ معطِيّ الرزقَ
Allah adalah Pemberi rizki.

شكرت لِمُعطيَ الرزقَ
Aku bersyukur kepada yang memberi rizki.
(Sebagian ahli muhakkikin melihat bahwa tercegahnya dari menampakan dhamah dan kasrah atas isim manqush yang dimudhafkan kepada ya mutakallim metika menjelaskan kalimat: , lafazh dirafa’kan dengan dhamah muqaddarah atas huruf ya sebelum datang ya mutakallim, terlarang menampakannya karena menyibukkan mahal dengan sukun yang wajib karena izdgham, bukan karena berat – sebagaimana pada keadaan pada selain keadaan ini – untuk memperlihatkan wajibnya dari sukun pada keadaan ini lebih kuat dari mengucapkannya yang berat, yaitu idzgham).

Apabila keadaannya mutsanna, ditetapka alifnya pada keadaannya, contoh:

هذان كتابايَ
Ini dua kitab kepunyaanku.

Dan adapun ya-nya diidzghamkan kepada ya mutakallim, seperti:

علمتُ وَلديَّ
Aku mengajar kedua anakku.
Apabila keadaannya jamak mudzakkar salim, wau-nya ditukar dengan ya lalu diidzghamkan kepada ya mutakallim, contoh:

معلميَّ يُحبّونَ أدبي
Guru-guruku mencintai akhlakku.
Adapun ya-nya diizdghamkan pula kepada ya mutakallim, contoh:

أكرمتُ مُعلميَّ
Aku memuliakan guru-guruku.

Mutsanna dan jamak mudzakkar salim di’irab – yang dimudhafkan kepada ya mutakallim – dengan huruf, sebagaimana keduanya dii’rab sebekum diidhafatkan. Sebagaimana engkau lihat.

2. c. I’rab mahki
Hikayat adalah mendatangkan lafazh sesuai dengan apa yang didengarnya.
Hikayat ada hikayat kalimah dan ada hikayat jumlah. Dan keduanya dihikayat atas lafazhnya kecuali keadaannya merupakan kesalahan perkataan. Maka hikayat ditentukan dengan maknanya serta perhatian atas kesalahan perkataan.

Hikayat kalimah seperti perkataan:

كتبتُ: يعلمُ"، أي: كتبتُ هذه الكلمةَ
Maka lafazh يعلمُ - pada asalnya – yaitu fi’il mudhari’ yang dirafa’kan karena kosong dari amil yang menashabkan atau amil yang menjazmkan, dan di sini i’rabnya i’rab mahki. Maka keadaannya menjadi maf’ul bih bagi kalimat كتبتُ , dan i’rabnya ditakdirkan, terlarang menzahirkannya karena harkat hikayat.
Apabila engkau berkata:

كتبَ: فعلٌ ماضٍ
Maka lafazh كتبَ di sini, dihikayat. Maksudnya menjadi mubtada yang dirafa’kan dengan dhamah yang ditakdirkan, tercegah menzahirkannya karena harkat hikayat.
Apabila dikatakan kepadamu:

أَعربْ "سعيداً" من قولك: "رأَيتُ سعيداً"
Engkau menjawab: سعيداً: مفعولٌ به , kalimat tersebut dihikayat dan didatangkan dengan i’rab yang dinashabkan, serta lafazh سعيداً pada perkataanmu berkedudukan menjadi mubtada, dan perkataan مفعولٌ به menjadi khabar. Kecuali lafazh itu dirafa’kan dengan dhamah muqaddarah atas huruf akhirnya, tercegah dizahirkan karena harkat hikayat. Maksudnya engkau terhadap lafazh yang menempati pada kalam itu sebagaimana lafazh tersebut menempati.

Dan kadang-kadang alam (kalimat yang telah dipakai nama) dihikayat setelah lafazh man istifhamiah, jika tidak didahului oleh huruf athaf. Sebagaimana engkau berkata:

رأَيتُ خالداً
Lalu ada yang bertanya: منْ خالداً
Jika didahului oleh huruf athaf tidak boleh dihikayatkan, tetapi engkau berkata:

ومنْ خالدٌ؟
Hikayat jumlah, sebagaimana engkau berkata:

قلتُ: "لا إِلهَ إلاّ اللهُ
Aku mengucapkan ”la ilaha illa Allah”.

. سمعتُ: حيّ على الصلاة
Aku mendengar ”Hayya ’ala Ashshalah”

قرأتُ: قُلْ هوَ اللهُ أَحدٌ
Aku membaca ” Qul huwa Allahu ahad”

. كتبتُ: استَقِمْ كما أُمِرْتَ
Aku menulis “Istaqim kama umirta”
Maka jumlah-jumlah ini dihikayat, dan mahalnya nashab dengan fi’il sebelumnya, dan i’rabnya adalah mahalli.
Hukum jumlah ini keadaannya mabni, maka jika dikuasai oleh amil, mahalnya adalah rafa’ atau nashab atau jar sesuai dengan tuntutan amil, dan jika tidak dikuasai oleh amil, maka tidak bermahal dalam i’rab.

2. d. I’rab Musamma bih
Jika engkau memberi nama dengan kalimat mabni, engkau menetapkan pada keadaannya. Dan i’rabnya adalah ditakdirkan pada keadaan yang tiga. Seandainya engkau memberi nama seorang laki-laki dengan: "رُبّ" atau "مَنْ" atau "حيثُ" , engkau berkata:

جاء رُبّ. أَكرمتُ حيث. أَحسنتُ إلى مَن
Rubba (nama orang) telah datang, aku memuliakan Haetsu (nama orang), dan aku berbuat baik kepada Min (nama orang).

Maka harkat-harkat i’rabnya ditakdirkan atas huruf akhirnya, dicegah menzahirkan harkat bina yang asli.

Demikian pula, jika engkau menamai seseorang dengan jumlah, seperti:

تأبطَ شراً، وجاد الحقّ
Jumlah itu tidak dirubah dengan i’rab yang baru, maka engkau berkata:

جاء تأبطَ شراً، أَكرمتُ جادَ الحقُّ
Taabbata syarran (nama orang) telah datang.
Aku memuliakan Jadulhaq (nama orang).

Dan keadaan i’rab yang baru ditakdirkan, dicegah menzahirkan harkatnya karena ada harkat i’rab yang asli.

3. I’rab Mahalli
I’rab mahalli adalah perubahan redaksional dengan sebab amil, maka keadaan i’rabnya tidak zahir (tampak) atau muqaddar (ditakdirkan).
I’rab mahalli terdapat pada kalimat-kalimat yang mabni, seperti:

جاء هؤلاء التلاميذُ
Mereka murid-murid telah datang.

أَكرمتُ من تعلّمَ
Aku memuliakan orang-orang yang belajar.

وأَحسنتُ إلى الذين اجتهدوا
Aku berbuat baik kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh.

لم يَنجحنَّ الكسلانُ
Tidak akan berhasil orang-orang yang malas.

Dan terdapat pula pada jumlah mahkiah, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

(maka pada yang mabni tidak dizahirkan harkat i’rab pada akhirnya karena harkat akhirnya tetap pada satu keadaan, apabila pada salah satu yang mabni berada pada tempat lafazh yang dirafa’kan atau dinashabkan atau dijarkan atau dijazmkan, maka keadaan rafa’, nashab, jar dan jazmnya ditafsirkan, dan i’rabnya disbut i’rab mahalli. Maksudnya, dengan ditafsirkan mempunyai suatu keadaan, baik keadaan (mahalnya) dirafakan, dinashabkan dijarkan atau dijazmkan. Dan dikatakan pula: dirafa’kan mahalnya, maksudnya dengan memandang pada mahalnya dalam jumlah, dengan perkiraan jika keadaan mahalnya mu’rab, tentulah dirafa’kan, dinashabkan, dijarkan atau dijazmkan).

Kalimah-kalimah huruf, fi’il amr, fi’il madhi yang tidak bersambung dengan adat syarat yang menjazmkan, isim-isim fi’il, isim-isim shaut tidak berubah akhirnya, baik secara lafazh, takdir atau mahalnya, karena itu dikatakan:
لا محل لها من الإعراب
Tidak mempunyai mahal dalam i’rab.

Adapun fi’il mudhari’ yang mabni, maka i’rab mahalnya rafa’, nashab dan jazm, seperti:

هل يكتُبَن ويكتبْنَ. والله لن يكتبَن ولن يكتُبْنَ ولم تكتُبَن ولم يكتبْن
Adapun fi’il madhi yang didahului oleh adat syarat yang menjazmkan, maka ia dijazmkan mahalnya, seperti:

إن اجتهدَ عليٌ أَكرَمهُ معلمه
Jika Ali bersungguh-sungguh maka gurunya memuliakannya.

Arsip Blog